Jumat, 14 Agustus 2009

Uang Pembawa Berkah

Dipagi yang cerah, Rasulullah keluar rumah dengan senyumnya yang ramah dan menebarkan berkah. Beliau bermaksud jalan-jalan berkeliling pasar. Ditangannya membawa uang sebanyak delapan dirham.

Beberapa orang yang dilaluinya menyapa Rasulullah. “Ya Rasulullah, akan pergi kemanakah Tuan sepagi ini?”

“Aku hanya ingin berjalan-jalan menghirup udara pagi,” jawab Rasulullah seraya tersenyum.

Diperjalanan, beliau bertemu dengan seorang perempuan yang sedang menangis dipinggir jalan.

“Mengapa kau menangis?” tanya Rasulullah.
Sambil tesedu-sedu, ia menceritakan apa yang menimpanya.

“Aku disuruh keluargaku ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Aku diberi uang dua dirham. Tapi ..., sekarang uang itu hilang entah kemana...,” kata perempuan itu. Tangisnya mesih belum terhenti.

“Aku tidak bisa mendapatkan kembali uang itu. Aku hanyalah seorang hamba sahaya...,” katanya diantara isak tangis.

Rasulullah merasa iba melihatnya. Lalu memberikan uangnya sebanyak dua dirham.

“ Terimalah uang ini. Aku mengganti uang dua dirhammu yang hilang itu,” kata Rasul.
Betapa gembira hati perempua itu.

“Terimakasih ya Rasulullah! Dengan uang ini, aku bisa belanja keperluan,” sahutnya seraya menyusut air matanya.
Rasulullah tersenyum. Beliaupun meninggalkan perempuan itu dan meneruskan perjalanannya.

Di pasar, orang-orang sibuk menawarkan barang dagangannya.
Rasulullah mendatangi barang-barang yang mereka tawarkan dengan wajah berseri.

Lalu, sepasang matanya tertumpu pada baju gamis berwarna putih yang ditawarkan seorang pedagang. Rupanya hati Rasulullah tertarik dengan gamis itu dan bermaksud membelinya.

Setelah keduanya sepakat dengan baju gamis itu, Rasulullahpun mengeluarkan uang dari sakunya sebanyak empat dirham.
Rasulullah langsung memakai baju gamis itu.
Beberapa saat kemudian, Rasulullah berjalan kembali mengelilingi pasar melihat-lihat barang lainnya.

Dari kejauhan, terdengar seorang laki-laki tua berteriak-teriak sambil berjalan terseok-seok. Pakaiannya kumal dan compang-camping sampai auratnya hampir kelihatan.

“Wahai, Pengunjung Pasar...! Aku mohon belas kasihanmu. Aku sudah tak mampu lagi mengganti pakaianku yang robek-robek ini. Pakaianku ini sudah tidak mempu lagi menahan rasa dingin....” kata orang tua itu meratap.
Pengunjung pasar maupun pedagang tak ada yang mau menghiraukannya. Hanya menoleh sebentar, lalu menyibukkan diri dengan urusannya masing-masing.

“Kasihanilah aku..., si Miskin ini ingin menutupi auratnya... Barang siapa yang memberiku pakaian niscaya Allah akan melebihkannya dengan memberi pakaian dari surga,” suaranya memelas. Tapi, tak seorang pun di pasar itu yang menaruh iba padanya.

Rasulullah yang mendengar ratapan laki-laki itu segera mendekat ke arahnya.

“Hai Orang Tua! Aku akan memberimu pakaian untuk menutup auratmu,” kata Rasulullah. Tanpa pikir panjang lagi, Rasulullah melepaskan gamis yang baru dibelinya.

“Ambillah! Pakailah segera baju ini,” kata Rasulullah lagi.
Orang tua miskin itu lalu memakai gamis pemberian Rasulullah.

“Ya Rasulullah! Sungguh engkau telah bermurah hati padaku. Allah pasti melimpahkan rahmat-Nya...,” sahut orang tua itu sambil berlalu meninggalkan Rasulullah.

Sesaat kemudian, Rasulullah masuk kembali ke dalam pasar mencari pedagang gamis tadi. Rasulullah membeli baju gamis yang lainnya seharga dua dirham. Si pedagang sangat heran karenanya.

“Ya Rasulullah, engkau sudah membeli baju gamis seharga empat dirham, kenapa sekarang membeli lagi gamis lainnya seharga dua dirham?” tanya pedagang sambil menatap Rasulullah.
Rasulullah tersenyum tenang.

“Memang betul, tadi aku sudah membeli gamis darimu. Tapi, dijalan ada orang tua yang lebih membutuhkan baju itu,” tutur Rasulullah.

Hari sudah malam ketika Rasulullah pulang ke rumahnya. Tiba-tiba, di tengah jalan Rasulullah melihat kembali perempuan yang tadi siang ditolongnya. Perempuan itu menangis di bawah sebuah pohon. Matanya tampak merah dan bengkak karena terlalu banyak menangis.
Rasulullah menyapa perempuan itu.

“Bukankah kau ini perempuan yang tadi kehilangan uang dua dirham?” tanya Rasulullah.

“Benar, ya Rasulullah,” jawabnya sambil terisak.

“Mengapa kau masih disini? Bukankah keluargamu sedang menunggu dirumah? Apalagi yang kau tangisi?” tanya Rasulullah kemudian.

“Sebenarnya, aku sudah terlalu lama pergi ke pasar. Aku takut sekali jika pulang nanti, mereka akan menyiksaku,” kata perempuan itu penuh khawatir.

“Baiklah....kalau kau takut dimarahi, aku akan menghubungi keluargamu,” sahut Rasulullah.
Perempuan itu kini merasa tenang hatinya. Rasulullah mengantar perempuan itu sampai ke rumahnya.

“Assalamu’alaikum...,” salam Rasulullah di depan pintu rumah. Salamnya didengarkan oleh penghuni rumah, tapi mereka tidak menjawabnya. Kemudian, Rasulullah mengulangi ucapan salamnya.

“Assalamu’alaikum...,” ucap Rasulullah. Penghuni rumah tetap tidak menjawab salam Rasulullah. Maka, Rasulullah pun mengucapkan salamnya yang ketiga kali dengan suara agak keras.

“Assalamu’alaikum....,” salam Rasulullah lagi. Mendengar salam Rasul yang agak keras, orang-orang di dalam rumah pun serentak menjawabnya.

“Wassalamu’alaika ya Rasulullah warahmatuhu wabarakatuhu...rupanya engkau, ya Rasulullah,” jawab mereka.

Rasulullah dipersilakan masuk dengan penuh hormat.

“Apakah kalian tidak mendengar bahwa aku sudah mengucapkan salam sebanyak tiga kali...?” tanya Rasulullah.

“Benar ya Rasulullah, kami mendengarnya...,” jawab mereka.

“Tapi, kami ingin Tuan memperbanyak salam kepada kami dan anak cucu kami, agar kami semua mendapat berkah dari salammu itu,” lanjutnya.

Lalu, Rasulullah mengutarakan kedatangannya ke rumah itu. Para penghuni rumah sangat bahagia mendapat kunjungan Rasulullah yang amat mulia itu.

“Budakmu ini sudah terlambat pulang. Ia takut apabila kembali, kalian akan menyiksanya,” kata Rasulullah. Sementara perempuan itu hanya menunduk penuh takut di belakang Rasulullah.

Para penghuni rumah malah tersenyum. Tidak tampak kemarahan dan kekecewaan sedikitpun di wajah mereka. Semua menyambut budak perempuan itu dengan baik.

“Kami sudah memaafkan dia,” katanya. Membuat budak perempuan itu terkesima saking gembiranya.

“Sungguh ya Rasulullah, kami sudah memberimu siksaannya dengan tidak menjawab ucapan salammu yang pertama dan kedua. Kami juga telah memerdekakannya karena ia telah berjalan bersamamu. Sekarang, ia bebas dan merdeka karena Allah semata.”

Bukan main bahagianya budak perempuan itu. Majikannya sudah memerdekakan dirinya berkat Rasulullah yang mulia.

“Alhamdulillah! Sungguh aku telah beruntung dapat berjalan denganmu, ya Rasulullah...,” kata budak perempuan itu.

Sesudah menyelesaikan urusannya, Rasulullah pun berpamitan pada pemilik rumah. Sebelumnya, Rasulullah mengatakan sesuatu di hadapan penghuni rumah.

“Saya belum pernah melihat uang delapan dirham yang lebih berkahnya, kecuali kali ini. Uang itu telah membawa rasa aman kepada yang ketakutan, terpenuhinya orang yang telanjang dengan sebuah pakaian, dan terbebas merdekanya seorang hamba sahaya,” ungkap Rasul penuh syukur kepada Allah.

Tangan di Atas lebih Mulia

Dengan penuh harap, lelaki berpakaian kumal itu menuju kota Madinah. Walaupun badannya terasa lelah tapi ia paksakan juga menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kabarnya, di kota ada seorang Nabi yang baru hijrah. Namanya Muhammad Saw. Orangnya sangat santun dan penuh kasih sayang pada siapa saja. Apalagi terhadap fakir miskin, Nabi itu begitu mengasihinya.

“Tentu hatinya begitu mulia. Aku akan menemuinya,” bisik lelaki itu.

Keringat yang mengucur di wajahnya tidak membuat lelaki miskin itu membatalkan niatnya. Dicarinya rumah Nabi Muhammad. Setiba di depan sebuah rumah, lelaki itu pun berseru memanggil Nabi.

“Wahai Rasulullah! Nabi kaum muslimin,” kata lelaki itu agak keras.

Sebentar kemudian muncul seorang lelaki yang berwajah meneduhkan. Sifat kasih sayangnya memancar lembut dari sorot matanya.

“Ya Rasulullah, aku ini sedang kelaparan. Anak dan istriku sedang menderita. Berilah aku sedekah, Tuan,” katanya dengan suara tertahan.

“Baik, tunggulah sebentar,” jawab Nabi lemah lembut. Nabi masuk ke rumahnya dan membawa makanan untuk lelaki miskin itu. Dengan tangannya sendiri, Nabi menyerahkan sedekah makanan pada lelaki tersebut.

“Aku hanya dapat memberikan makanan sekadarnya,” kata Rasulullah.

“Alhamdulillah. Terima kasih Tuan. Aku akan berdo’a agar Allah memberikan balasan yang berlipat,” ucap lelaki miskin itu.

“Ambillah rezeki dari Allah ini,” kata Rasulullah lagi.

Lelaki itu kemudian pergi membawa makanan dari Rasulullah ke kampungnya. Di sana, ia menyantap sedekah itu beserta anak dan istrinya.

“Sungguh dermawan Nabi umat Islam itu. Aku diperlakukannya dengan santun,” cerita lelaki itu pada anak dan istrinya.” Apa yang dikatakan orang-orang kalau Nabi Muhammad seorang yang amat mulia itu benar.”

“Kalau begitu, besok kau pergi ke rumahnya lagi. Pasti ia akan memberi sedekah yang lebih banyak,” usul istrinya.

Lelaki miskin itu diam sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Nabi Muhammad memang sangat mengasihi orang miskin. Apa pun akan di sedekahkannya dengan ikhlas karena Allah.

Keesokan harinya lelaki miskin itu datang kembali menemui Rasulullah untuk meminta sedekah. Ia amat yakin akan mendapatkannya seperti kemarin. Dengan pakaian yang robek di sana-sini, lelaki itu berdiri di depan pintu rumah Nabi.

“Ya Nabi Allah! Berilah aku sedekah. Anakku belum makan apa-apa di rumah,” pintanya memelas.

Rasulullah memandangi peminta-minta itu dengan heran.

“Bukankah kau ini orang yang datang kemarin?” tanya Nabi.

“Ya betul. Kasihanilah si miskin ini,” ujarnya.

Nabi pun masuk ke rumahnya mengambil sejumlah uang untuk lelaki miskin itu. Lalu menyedekahkannya.

“Ini untukmu. Pergunakanlah dengan baik dijalan Allah,” kata Rasulullah.
Bukan main senangnya hati lelaki itu. Rasulullah memberi sedekah uang yang cukup banyak.

Peminta-minta itu pulang sambil bersiul. Ia tak menduga akan mendapat rezeki nomplok!
Nabi Muhammad benar-benar seorang yang penyayang. Ia pun lalu membayangkan apa yang akan di sedekahkan Rasulullah padanya besok. Mungkin pakaian yang bagus atau emas permata...ah! siapa tahu? Bukankah beliau gemar bersedekah?

Lelaki itu kembali menceritakan kemurahan hati Rasulullah.

“Saya jadi ingin menemuinya,” kata isterinya.

“ Besok aku mau datang lagi meminta sedekahnya.” Lelaki itu kembali menerka-nerka barang berharga yang akan diberikan Rasululah.

“Aku jadi ingin bertemu dengan Rasulullah,” sahut isterinya tiba-tiba.
Lelaki itu mengerutkan dahinya. “Kau mau ikut denganku?”

Beberapa saat lelaki itu berpikir. Boleh juga, sesekali memebawa isteri dan anaknya menemui Nabi. Pasti akan lebih meyakinkan! Rasulullah akan iba melihat kelurganya yang hidup serba kesusahan.

“Kau boleh ikut! Kau bisa membantuku nanti,” katanya sambil tersenyum. Bahkan, lelaki itu sudah mempunyai maksud mejadi peminta-minta untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

“Tak usah capek-capek kerja keras. Cukup dengan menadahkan tangan dapat rezeki....,” pikirnya senang.

Lalu keesokan harinya peminta-minta itu membawa isteri dan anaknya ke rumah Rasulullah.

“Tuan, berilah kami sedekah sekadarnya,” katanya degan nada memelas.

“Kasihanilah kami yang melarat ini...,” timpal isterinya pula.

Rasulullah memperhatikan rombongan kecil itu. Nabi ingat benar lelaki itu yang datang kemarin meminta sedekah.

“Tunnggu sebentar,” sahut Nabi. Peminta-minta itu gembira akan diberi sesuatu oleh Nabi. Dengan sabar ia menunggu dasn mengharap rezeki yang lebih besar lagi.

Tak lama kemudian, Nabi datang membawa sebuah kapak. Melihat itu, si Pengemis tercengang.

“Sedekahku hari ini sebuah kapak untukmu,” kata Nabi.

Pengemis itu keheranan. Kenapa hari ini Rasulullah tidak memberi sedekah makanan atau uang.

“Tuan, kapak ini untuk apa? Aku minta sedekah uang atau makanan...,” saut sang Pengemis.

“Kapak ini akan lebih bermanfaat buatmu. Kau bisa menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu, dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan itu dapat menghasilkan nafkah bagimu dan keluargamu,” kata Nabi.

Lelaki beserta isterinya itu tertegun. Sungguh, ia tak menduga kalau Nabi akan memberi kapak sebagai sedekah.

“ Gunakanlah kapak ini untuk mencari nafkah sehingga kau tidak meminta-minta lagi,” sahut Nabi pula.

“ Terimakasih, Tuan,” ucap lalaki itu seraya menunduk.
Orang itupun lalu pergi dengan perasaan yang berkecamuk. Ia sangat malu menjadi peminta-minta untk mencari nafkah bagi keluarganya. Padahal, ia belum bagitu tua. Tenaganya masih kuat untuk bekerja apa saja. Ia menyesal sudah memafaatkan kemiskinannya sebagai alasan untuk mengemis. Bukankah Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dengan sungguh-sungguh?

Sejak itu, lelaki itu tidak pernah meminta-minta lagi. Ia mencari nafkah dengan menggunakan kapak pemberian Rasulullah.
Kehidupannya pun meningkat berkat kerja keras dan ketekunannya selama ini.

Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.
Karenanya, ia bertekad tak akan menadahkan tangannya kepada manusia. Dia akan menadahkan tangannya hanya kepada Allah yang Maha Penyayang.
Dengan penuh harap, lelaki berpakaian kumal itu menuju kota Madinah. Walaupun badannya terasa lelah tapi ia paksakan juga menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kabarnya, di kota ada seorang Nabi yang baru hijrah. Namanya Muhammad Saw. Orangnya sangat santun dan penuh kasih sayang pada siapa saja. Apalagi terhadap fakir miskin, Nabi itu begitu mengasihinya.

“Tentu hatinya begitu mulia. Aku akan menemuinya,” bisik lelaki itu.

Keringat yang mengucur di wajahnya tidak membuat lelaki miskin itu membatalkan niatnya. Dicarinya rumah Nabi Muhammad. Setiba di depan sebuah rumah, lelaki itu pun berseru memanggil Nabi.

“Wahai Rasulullah! Nabi kaum muslimin,” kata lelaki itu agak keras.

Sebentar kemudian muncul seorang lelaki yang berwajah meneduhkan. Sifat kasih sayangnya memancar lembut dari sorot matanya.

“Ya Rasulullah, aku ini sedang kelaparan. Anak dan istriku sedang menderita. Berilah aku sedekah, Tuan,” katanya dengan suara tertahan.

“Baik, tunggulah sebentar,” jawab Nabi lemah lembut. Nabi masuk ke rumahnya dan membawa makanan untuk lelaki miskin itu. Dengan tangannya sendiri, Nabi menyerahkan sedekah makanan pada lelaki tersebut.

“Aku hanya dapat memberikan makanan sekadarnya,” kata Rasulullah.

“Alhamdulillah. Terima kasih Tuan. Aku akan berdo’a agar Allah memberikan balasan yang berlipat,” ucap lelaki miskin itu.

“Ambillah rezeki dari Allah ini,” kata Rasulullah lagi.

Lelaki itu kemudian pergi membawa makanan dari Rasulullah ke kampungnya. Di sana, ia menyantap sedekah itu beserta anak dan istrinya.

“Sungguh dermawan Nabi umat Islam itu. Aku diperlakukannya dengan santun,” cerita lelaki itu pada anak dan istrinya.” Apa yang dikatakan orang-orang kalau Nabi Muhammad seorang yang amat mulia itu benar.”

“Kalau begitu, besok kau pergi ke rumahnya lagi. Pasti ia akan memberi sedekah yang lebih banyak,” usul istrinya.

Lelaki miskin itu diam sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Nabi Muhammad memang sangat mengasihi orang miskin. Apa pun akan di sedekahkannya dengan ikhlas karena Allah.

Keesokan harinya lelaki miskin itu datang kembali menemui Rasulullah untuk meminta sedekah. Ia amat yakin akan mendapatkannya seperti kemarin. Dengan pakaian yang robek di sana-sini, lelaki itu berdiri di depan pintu rumah Nabi.

“Ya Nabi Allah! Berilah aku sedekah. Anakku belum makan apa-apa di rumah,” pintanya memelas.

Rasulullah memandangi peminta-minta itu dengan heran.

“Bukankah kau ini orang yang datang kemarin?” tanya Nabi.

“Ya betul. Kasihanilah si miskin ini,” ujarnya.

Nabi pun masuk ke rumahnya mengambil sejumlah uang untuk lelaki miskin itu. Lalu menyedekahkannya.

“Ini untukmu. Pergunakanlah dengan baik dijalan Allah,” kata Rasulullah.
Bukan main senangnya hati lelaki itu. Rasulullah memberi sedekah uang yang cukup banyak.

Peminta-minta itu pulang sambil bersiul. Ia tak menduga akan mendapat rezeki nomplok!
Nabi Muhammad benar-benar seorang yang penyayang. Ia pun lalu membayangkan apa yang akan di sedekahkan Rasulullah padanya besok. Mungkin pakaian yang bagus atau emas permata...ah! siapa tahu? Bukankah beliau gemar bersedekah?

Lelaki itu kembali menceritakan kemurahan hati Rasulullah.

“Saya jadi ingin menemuinya,” kata isterinya.

“ Besok aku mau datang lagi meminta sedekahnya.” Lelaki itu kembali menerka-nerka barang berharga yang akan diberikan Rasululah.

“Aku jadi ingin bertemu dengan Rasulullah,” sahut isterinya tiba-tiba.
Lelaki itu mengerutkan dahinya. “Kau mau ikut denganku?”

Beberapa saat lelaki itu berpikir. Boleh juga, sesekali memebawa isteri dan anaknya menemui Nabi. Pasti akan lebih meyakinkan! Rasulullah akan iba melihat kelurganya yang hidup serba kesusahan.

“Kau boleh ikut! Kau bisa membantuku nanti,” katanya sambil tersenyum. Bahkan, lelaki itu sudah mempunyai maksud mejadi peminta-minta untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

“Tak usah capek-capek kerja keras. Cukup dengan menadahkan tangan dapat rezeki....,” pikirnya senang.

Lalu keesokan harinya peminta-minta itu membawa isteri dan anaknya ke rumah Rasulullah.

“Tuan, berilah kami sedekah sekadarnya,” katanya degan nada memelas.

“Kasihanilah kami yang melarat ini...,” timpal isterinya pula.

Rasulullah memperhatikan rombongan kecil itu. Nabi ingat benar lelaki itu yang datang kemarin meminta sedekah.

“Tunnggu sebentar,” sahut Nabi. Peminta-minta itu gembira akan diberi sesuatu oleh Nabi. Dengan sabar ia menunggu dasn mengharap rezeki yang lebih besar lagi.

Tak lama kemudian, Nabi datang membawa sebuah kapak. Melihat itu, si Pengemis tercengang.

“Sedekahku hari ini sebuah kapak untukmu,” kata Nabi.

Pengemis itu keheranan. Kenapa hari ini Rasulullah tidak memberi sedekah makanan atau uang.

“Tuan, kapak ini untuk apa? Aku minta sedekah uang atau makanan...,” saut sang Pengemis.

“Kapak ini akan lebih bermanfaat buatmu. Kau bisa menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu, dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan itu dapat menghasilkan nafkah bagimu dan keluargamu,” kata Nabi.

Lelaki beserta isterinya itu tertegun. Sungguh, ia tak menduga kalau Nabi akan memberi kapak sebagai sedekah.

“ Gunakanlah kapak ini untuk mencari nafkah sehingga kau tidak meminta-minta lagi,” sahut Nabi pula.

“ Terimakasih, Tuan,” ucap lalaki itu seraya menunduk.
Orang itupun lalu pergi dengan perasaan yang berkecamuk. Ia sangat malu menjadi peminta-minta untk mencari nafkah bagi keluarganya. Padahal, ia belum bagitu tua. Tenaganya masih kuat untuk bekerja apa saja. Ia menyesal sudah memafaatkan kemiskinannya sebagai alasan untuk mengemis. Bukankah Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dengan sungguh-sungguh?

Sejak itu, lelaki itu tidak pernah meminta-minta lagi. Ia mencari nafkah dengan menggunakan kapak pemberian Rasulullah.
Kehidupannya pun meningkat berkat kerja keras dan ketekunannya selama ini.

Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.
Karenanya, ia bertekad tak akan menadahkan tangannya kepada manusia. Dia akan menadahkan tangannya hanya kepada Allah yang Maha Penyayang.

Rendah Hati Sang Nabi

Rasulullah baru saja selesai berzikir dan berdo’a ketika Fatimah datang.

“Assalamu’alaika ya Rasulullah,” salam Fatimah dari luar. Rasulullah segera membukakan pintu.

“Alaiki salam, kau rupanya Fatimah,” jawab Rasulullah gembira. Wajahnya selalu berseri setiap kali menyambut kedatangan putrinya itu. Dipeluknya Fatimah dengan penuh kasih sayang. Sesudah beberapa saat, Rasulullah menangkap ada kedukaan di wajah putri yang amat dicintainya itu.

“Ada apa, putriku?” tanya Rasulullah.

“Ya Rasulullah, sudah berhari-hari kami sekeluarga kelaparan. Tidak ada makanan yang kami punya,” sahut Fatimah.

Rasulullah tersenyum.

“Kemarilah, duduk di dekat Ayah,” kata Rasulullah seraya mengulurkan tangannya. Fatimah mendekat. Rasulullah memegangi tangan Fatimah. Didekatkannya tangan Fatimah ke perut Rasul.

Fatimah tersentak. Ada batu-batu di balik jubah ayahnya.

Fatimah mengangkat wajah menatap Rasulullah.

“Ayahanda.....” Tak kuasa Fatimah melanjutkan kata-katanya. Air matanya seolah menyekat tenggorokannya. Bila Rasulullah meletakkan batu-batu itu di perutnya, berarti Rasulullah dalam keadaan yang sangat lapar. Batu-batu itu untuk mengganjal agar rasa lapar tidak terlalu menyakitkan.

Rasulullah tersenyum kepada putri kesayangannya.

“Maafkan Ayah, Nak, di rumah ini pun tidak ada yang bisa dimasak,” kata Rasulullah.

Melihat senyum ayahnya yang begitu indah, Fatimah menjadi tenang. Segera ia menghapus air matanya.

Ia sangat malu sudah mengeluhkan kesusahannya. Padahal, ayahnya sendiri dalam keadaan susah. Bagi putri Rasulullah tidak baik merasa dirinya susah. Ya! Karena ia putri seorang Nabi.

Fatimah pun pulang ke rumahnya dengan perut yang tetap lapar, namun hatinya begitu bahagia.

Setelah Fatimah pulang, Rasulullah membaringkan badannya di atas sehelai tikar.
Baru beberapa saat beliau memejamkan mata, terdengar suara orang mengetuk pintu. Rasulullah pun bangkit membuka pintu. “Sahabatku Umar, masuklah,” kata Rasul. Umar terkejut memandangi wajah Rasul yang tampak pucat.

“Ya Rasulullah, apakah kau sakit?” tanya Umar. Rasul menggeleng sambil tersenyum. Senyum itu segera menghapus keletihan di wajahnya.

“Duduklah!” Rasulullah mempersilakan Umar duduk diatas tikar yang tersedia. Umar baru mengetahui kalau ia sudah menganggu tidur Rasulullah. Tampak jelaslah bekas anyaman tikar di wajah Rasulullah. Beginikah tempat berbaring Rasul Allah itu? Tikar itu sudah usang. Selain benda itu, tidak ada lagi perabotan yang lainnya.
Hati Umar sedih.

“Ya Rasulullah,” katanya menahan duka,” kenapa hidupmu begitu kekurangan? Raja dan kaisar hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Anda, Nabi dan Rasul yang besar. Kenapa menjalani hidup semiskin ini?” kata Umar dengan mata berkaca-kaca.

Rasulullah segera memotong perkataan Umar.

“Wahai Umar! Apakah jika aku tidak memiliki harta dan hidup mewah, berarti suatu kerugian bagiku? Apakah hanya karena benda-benda duniawi kita merasa kaya dan beruntung? Semua itu bukanlah sesuatu yang pantas dibandingkan,” jelas Rasulullah. Umar termangu. Tidak membantah perkataan Rasul. “Ketahuilah, suatu hari israfil datang kepadaku, menawarkan dua pilihan. Aku disuruh memilih apakah ingin menjadi nabi dan raja, atau menjadi nabi dan hamba? Lalu aku memilih menjadi nabi dan hamba,” kata Rasulullah.

Ya, Rasulullah telah memilih menjadi seorang Nabi yang tidak punya kekuasaan dalam pemerintahan. Beliau tetap rendah hati meskipun memiliki umat yang mendiami bumi ini.

“Seumpama ketika itu aku memilih menjadi nabi dan raja. Sudah pasti gunung-gunung akan berubah menjadi emas dan permata bagiku,” kata Rasul.

Umar terdiam, penuh ketakjuban terhadap sikap mulia Rasulullah.

Gadis Jujur

Khalifah Umar bin Khattab sering melakukan ronda malam sendirian. Sepanjang malam ia memeriksa keadaan rakyatnya langsung dari dekat. Ketika melewati sebuah gubuk, Khalifah Umar merasa curiga melihat lampu yang masih menyala. Di dalamnya terdengar suara orang berbisik-bisik.

Khalifah Umar menghentikan langkahnya. Ia penasaran ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Dari balik bilik, Kalifah umar mengintipnya. Tampaklah seorang ibu dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu.

“Bu, kita hanya mendapat beberapa kaleng hari ini,” kata anak perempuan itu.

“Mungkin karena musim kemarau, air susu kambing kita jadi sedikit.”

“Benar anakku,” kata ibunya.

“Tapi jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita akan gemuk. Kita bisa memerah susu sangat banyak,” harap anaknya.

“Hmmm....., sejak ayahmu meninggal, penghasilan kita sangat menurun. Bahkan dari hari ke hari rasanya semakin berat saja. Aku khawatir kita akan kelaparan,” kata ibunya.

Anak perempuan itu terdiam. Tangannya sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah terisi susu.

“Nak,” bisik ibunya seraya mendekat. “Kita campur saja susu itu dengan air, supaya penghasilan kita cepat bertambah.”

Anak perempuan itu tercengang. Ditatapnya wajah ibunya yang keriput. Ah, wajah itu begitu lelah dan letih menghadapi tekanan hidup yang amat berat. Ada rasa sayang yang begitu besar di hatinya. Namun, ia segera menolak keinginan ibunya.

“Tidak, bu!” katanya cepat.

“Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air.” Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli.

“Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu,” gerutu ibunya kesal.

“Ibu, hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku curang pada pembeli?”

“Tapi, tidak akan ada yang tahu kita mencampur susu dengan air! Tengah malam begini tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita,” kata ibunya tetap memaksa.

“Ayolah, Nak, mumpung tengah malam. Tak ada yang melihat kita!”

“Bu, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apa pun kita menyembunyikannya,” tegas anak itu. Ibunya hanya menarik nafas panjang.

Sungguh kecewa hatinya mendengar anaknya tak mau menuruti suruhannya. Namun, jauh di lubuk hatinya ia begitu kagum akan kejujuran anaknya.

“Aku tidak mau melakukan ketidak jujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,” kata anak itu.

Tanpa berkata apa-apa, ibunya pergi ke kamar. Sedangkan anak perempuannya menyelesaikan pekerjaannya hingga beres.

Di luar bilik, Khalifah Umar tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu.

“Sudah sepantasnya ia mendapatkan hadiah!” gumam Khalifah Umar. Khalifah Umar beranjak meniggalkan gubuk itu. Kemudian ia cepat-cepat pulang ke rumahnya.

Keesokan paginya, Khalifah Umar memanggil putranya, Ashim bin Umar. Di ceritakannya tentang gadis jujur penjual susu itu.

“Anakku, menikahlah dengan gadis itu. Ayah menyukai kejujurannya,” kata Khalifah Umar.

“Di zaman sekarang, jarang sekali kita jumpai gadis jujur seperti dia. Ia bukan takut pada manusia. Tapi takut pada Allah yang Maha Melihat.”

Ashim bin Umar menyetujuinya.

Beberapa hari kemudian Ashim melamar gadis itu. Betapa terkejut ibu dan anak perempuan itu dengan kedatangan putra Khalifah. Mereka mengkhawatirkan akan di tangkap karena suatu kesalahan.

“ Tuan, saya dan anak saya tidak pernah melakukan kecurangan dalam menjual susu. Tuan jangan tangkap kami....,” sahut ibu tua ketakutan.

Putra Khalifah hanya tersenyum. Lalu mengutarakan maksud kedatangannya hendak menyunting anak gadisnya.

“Bagaimana mungkin? Tuan adalah seorang putra Khalifah , tidak selayaknya menikahi gadis miskin seperti anakku?” tanya seorang ibu dengan perasaan ragu.

“Khalifah adalah orang yang tidak ,membedakan manusia. Sebab, hanya ketawakalanlah yang meninggikan derajad seseorang disisi Allah,” kata Ashim sambil tersenyum.

“Ya. Aku lihat anakmu sangat jujur,” kata Khalifah Umar.

Anak gadis itu saling berpandangan dengan ibunya.
Bagaimana Khalifah tahu? Bukankah selama ini ia belum pernah mengenal mereka.

“ Setiap malam aku suka berkeliling memeriksa rakyatku. Malam itu aku mendengar pembicaraan kalian...,” jelas Khalifah Umar.

Ibu itu bahagia sekali. Khalifah Umar ternyata sangat bijaksana. Menilai seseorang bukan dari kekayaan tapi dari kejujurannya.

Sesudah Ashim menikah dengan gadis itu, kehidupan mereka sangat bahagia. Keduanya membahagiakan orangtuanya dengan penuh kasih sayang. Beberapa tahun kemudian mereka dikaruniai anak dan cucu yang kelak akan menjadi orang besar dan memimpin bangsa Arab.

Bening Hati Sang Nabi

Dalam hidupnya, Rasulullah SAW selalu bersifat rendah hati dan pemaaf. Tiada terhitung banyaknya cacian dan hinaan yang diterima beliau dari kaum kafir. Namun, beliau tetap berbuat baik terhadap orang-orang yang menghinanya itu. Salah seorang yang sangat membenci Nabi Muhammad SAW adalah seorang nenek tua Yahudi. Kebetulan jika Nabi ke masjid selalu melewati rumah si nenek. Suatu hari Nabi lewat, si nenek sedang menyapu rumahnya. Buru-buru si nenek mengumpulkan sampah dan debu dari rumahnya. Ketika Nabi lewat di depan jendela, maka dilemparkannyalah sampah dan debu itu. Nabi terkejut, namun ia tidak marah begitu tahu siapa yang melemparnya. Malah Nabi mengangguk sambil tersenyum. “Assalamu’alaikum!” sapa Nabi. Nenek itu malah melotot kepada Nabi. “Enyah, kau!” kata si nenek.

Keesokan harinya, Nabi lewat lagi di depan rumah si nenek. Masya Allah, ternyata si nenek sudah bersiap-siap lagi melempar Nabi dengan kotoran. Kali ini dia juga meludahi Nabi. Bagaimana sikap Nabi Muhammad? Lagi-lagi, Nabi hanya tersenyum dan berusaha membersihkan pakaiannya. Si nenek menjadi tambah marah karena Nabi SAW, tidak terpengaruh.

Begitulah, beberapa hari Nabi lewat di depan rumah si nenek tersebut. Setiap kali itu pula ia menerima lemparan sampah dan debu. Nabi tetap saja tidak marah. Suatu kali Nabi SAW, lewat lagi di depan rumah sang nenek. Tapi, kali ini lain. Si nenek tidak kelihatan. Padahal, Nabi sudah bersiap-siap menyapanya. “Aneh,” pikir sang Nabi, “pasti ada sesuatu terjadi pada si nenek.” Nabi lalu mendatangi tetangga si nenek. “Apakah engkau tahu apa yang terjadi dengan nenek di sebelah rumah ini? Aku tidak melihatnya hari ini,” tanya Nabi.

“Mengapa engkau begitu peduli pada dia, wahai Rasulullah? Bukankah ia selama ini menghinamu?”

Nabi hanya tersenyum mendengar pertanyaan tetangga si nenek. Tetangga itu lalu menjelaskan bahwa si nenek itu tinggal sebatang kara, dan kini sedang sakit keras.

Maka, bergegaslah Nabi Muhammad menuju rumah si nenek yang sedang sakit. Di rumah itu, Nabi membantu memasak makanan, mengambilkan air dari sumur, dan membersihkan debu-debu di rumah. Si nenek heran melihat ada orang yang membantunya. Ia berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Lalu, tahulah ia siapa sebenarnya yang membantunya. Begitu melihat wajah Nabi yang sangat tulus, nenek itupun menitikkan air mata. Selama ini tidak ada yang mau merawatnya. Tapi, justru orang yang selama ini dihinanya, dengan penuh kasih sayang merawatnya. Sungguh mulia hati orang ini. Si nenek lalu meminta maaf kepada Nabi.

Begitulah salah satu kisah tentang kemuliaan dan kebeningan hati Nabi Muhammad SAW. Karena itu, para sahabat dan orang-orang yang pernah mengenal beliau begitu menyayangi beliau. Ketika beliau wafat, orang segagah Umar bin Khattab juga menangis tersedu-sedu.

Nah, adik-adik, si nenek tadi juga akhirnya masuk Islam. Ia kemudian menjadi salah seorang muslimah yang taat. Banyak orang masuk Islam karena melihat akhlak Nabi Muhammad SAW, yang sangat luar biasa. Kita bisa meniru apa yang beliau lakukan kepada orang lain, termasuk musuhnya.

Abu Hanifah yang taat

Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulama ahli hukum Islam itu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat.

Dalam penjara, ulama besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifah sedih sekali. Yang membuatnya sedih bukan karena siksaan yang diterimanya, melainkan karena cemas memikirkan ibunya. Beliau sedih kerena kehilangan waktu untuk berbuat baik kepada ibunya.

Setelah masa hukumannya berakhir, Abu Hanifah dibebaskan. Ia bersyukur dapat bersama ibunya kembali.

“Ibu, bagaimana keadaanmu selama aku tidak ada?” tanya Abu Hanifah.

“Alhamdulillah......ibu baik-baik saja,” jawab ibu Abu Hanifah sambil tersenyum.

Abu Hanifah kembali menekuni ilmu agama Islam. Banyak orang yang belajar kepadanya. Akan tetapi, bagi ibu Abu Hanifah ia tetap hanya seorang anak. Ibunya menganggap Abu Hanifah bukan seorang ulama besar. Abu Hanifah sering mendapat teguran. Anak yang taat itu pun tak pernah membantahnya.

Suatu hari, ibunya bertanya tentang wajib dan sahnya shalat. Abu Hanifah lalu memberi jawaban. Ibunya tidak percaya meskipun Abu Hanifah berkata benar.

“Aku tak mau mendengar kata-katamu,” ucap ibu Hanifah. “Aku hanya percaya pada fatwa Zar’ah Al-Qas,” katanya lagi.
Zar’ah Al-Qas adalah ulama yang pernah belajar ilmu hukum Islam kepada Abu Hanifah.

“Sekarang juga antarkan aku ke rumahnya,” pinta ibunya.

Mendengar ucapan ibunya, Abu Hanifah tidak kesal sedikit pun. Abu Hanifah mengantar ibunya ke rumah Zar’ah Al-Qas.

“Saudaraku Zar’ah Al-Qas, ibuku meminta fatwa tentang wajib dan sahnya shalat,” kata Abu Hanifah begitu tiba di rumah Zar’ah Al-Qas.

Zar’ah Al-Qas terheran-heran kenapa ibu Abu Hanifah harus jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk pertanyaan itu? Bukankah Abu Hanifah sendiri seorang ulama? Sudah pasti putranya itu dapat menjawab dengan mudah.

“Tuan, Anda kan seorang ulama besar? kenapa Anda harus datang padaku?” tanya Zar’ah Al-Qas.

“Ibuku hanya mau mendengar fatwa dari anda,” sahut Abu Hanifah.

Zar’ah tersenyum, ”baiklah, kalau begitu jawabanku sama dengan fatwa putra anda,” kata Zar’ah Al-Qas akhirnya.

“Ucapkanlah fatwamu,” kata Abu Hanifah tegas.

Lalu Zar’ah Al-Qas pun memberikan fatwa. Bunyinya sama persis dengan apa yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah. Ibu Abu Hanifah bernafas lega.

“Aku percaya kalau kau yang mengatakannya,” kata ibu Abu Hanifah puas. Padahal, sebetulnya fatwa dari Zar’ah Al-Qas itu hasil ijtihad (mencari dengan sungguh-sungguh) putranya sendiri, Abu Hanifah.

Dua hari kemudian, ibu Abu Hanifah menyuruh putranya pergi ke majelis Umar bin Zar. Lagi-lagi untuk menanyakan masalah agama. Dengan taat, Abu Hanifah mengikuti perintah ibunya. Padahal, ia sendiri dapat menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah.

Umar bin Zar merasa aneh. Hanya untuk mengajukan pertanyaan ibunya, Abu Hanifah datang ke majelisnya.

“Tuan, Andalah ahlinya. Kenapa harus bertanya kepada saya?” kata Umar bin Zar.

Abu Hanifah tetap meminta fatwa Umar bin Zar sesuai permintaan ibunya.

“Yang pasti, hukum membantah orang tua adalah dosa besar,” kata Abu Hanifah.

Umar bin Zar termangu. Ia begitu kagum akan ketaatan Abu Hanifah kepada ibunya.

“Baiklah, kalau begitu apa jawaban anda atas pertanyaan ibu Anda?”

Abu Hanifah memberikan keterangan yang diperlukan.

“Sekarang, sampaikanlah jawaban itu pada ibu anda. Jangan katakan kalau itu fatwa anda,” ucap Umar bin Zar sambil tersenyum.

Abu Hanifah pulang membawa fatwa Umar bin Zar yang sebetulnya jawabannya sendiri. Ibunya mempercayai apa yang diucapkan Umar bin Zar.

Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibunya sering menyuruh Abu Hanifah mendatangi majelis-majelis untuk menanyakan masalah agama. Abu Hanifah selalu menaati perintah ibunya. Ibunya tidak pernah mau mendengar fatwa dari Abu Hanifah meskipun beliau seorang ulama yang sangat pintar.